Bocah nelayan itu menatap hamparan laut dengan pilu. Kemudian ia memalingkan pandangannya pada bukit nan rimbun yang terletak berhadapan dengan kumpulan air terbesar di dunia. “Dulu, sebelum tsunami, saya, ayah dan mak, serta adik saya tinggal di sini,” tuturnya.
Ujung Pancu, nama daerah tempat ia berada sekarang. Sebuah perkampungan penduduk yang terletak di Peukan Bada Aceh Besar. Kampung itu memiliki kenangan sendiri di benak anak laki-laki yang bernama Muhammad Hafizh Rihanda.
“Dulu saya sering bermain di pinggir pantai bersama teman-teman sepulang sekolah. Bermain bola, mencari kepiting. Banyak pokoknya.”
“Dulu saya sering bermain di pinggir pantai bersama teman-teman sepulang sekolah. Bermain bola, mencari kepiting. Banyak pokoknya.”
Putra dari pasangan Muhand Abdullah dan Ida Yulianti ini seolah memutar kembali memorinya ke saat-saat di mana ia berada di perkampungan nelayan itu. Sebuah senyuman tergurat dari bibirnya.
Namun, beberapa menit kemudian wajahnya menjadi murung. Matanya yang mulai mengeluarkan butiran bening kembali menatap laut. “Sekarang semua itu tidak ada lagi,” ucapnya terbata.
Pantai yang indah Ujung Pancu kini telah tenggelam oleh permukaan air laut yang semakin naik akibat tsunami. Rimbunan Pinus mercusi yang dulunya menghiasi bibir pantai tumbang dihanyutkan gelombang.
“Pagi itu saya sedang mengangkut air untuk membantu mak yang sedang mencuci,” ungkap bocah hitam manis itu, “Terus tiba-tiba gempa. Kuat sekali gempanya. Karena takut kena reruntuhan rumah saya langsung keluar.Mak mengambil dek Adha yang waktu itu masih bayi.”
Hafizh mencoba mengingat-ingat kembali hal-hal yang dialaminya pada hari yang menjadi catatan sejarah penting dalam buku agenda dunia. “Waktu keluar rumah, saya melihat semua orang kampung telah berkumpul di depan rumah masing-masing. Kami melihat air laut tiba-tiba surut ratusan meter. Ikan-ikannya kelihatan semua. Ada yang mengambil ikan itu, ada juga yang melihat saja.”
Hafizh berhenti sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya. “Tapi, tiba-tiba gelombang laut datang lagi, tinggi sekali. Setinggi pohon kelapa. Orang-orang kampung berlarian ke bukit.”
Hafizh yang saat itu masih berumur lima tahun juga digendong ayahnya menaiki bukit. Begitu pula dengan ibu dan adiknya yang masih bayi.
Dia yang sangat ketakutan hingga menangis tersedu-sedu. Tidak hanya Hafizh yang merasa takut, seluruh penduduk kampung pun demikian. “Ada yang berdoa, menangis, macam-macam pokoknya. Kami semua ketakutan seolah-seolah mau mati.”
Selama di bukit, lelaki kecil itu harus berpuas dengan mengunyah dedaunan dan meminum air payau untuk mengisi perutnya. Ia sadar, di saat genting seperti itu pasti tidak ada nasi dan lauk pauk lezat seperti yang sering dihidangkan ibunya. Beras yang telah bercampur dengan air asin pun menjadi begitu nikmat kala itu. Ketakutan telah melenyapkan lapar dan dahaga mereka.
“Adik sempat sakit waktu di bukit karena kekurangan makanan,”cerita Hafizh tentang keadaan adik laki-lakinya yang bernama M. Adha Zaifullah yang waktu itu masih berumur satu tahun.
Namun setelah dua hari tiga malam Hafizh dan seluruh penduduk kampung berada di bukit, mereka memutuskan untuk turun dan menuju perkampungan terdekat untuk mencari perlindungan dan makanan. Akhirnya mereka pun tiba di Simpang Dodik yang letaknya tiga kilometer dari Ujung Pancu. Setiba di sana mereka sadar kalau bukan hanya Ujung Pancu yang menjadi sasaran amukan tsunami, tetapi seluruh Banda Aceh mengalaminya. Kemudian mereka di tempatkan di pengungsian yang terletak di Kecamatan Lampeuneurut.
“Tidak enak di pengungsian. Kalau malam banyak nyamuk, dan kalau hujan, banjir. Saya dan ayah sering tidak tidur kalau malam karena harus jaga-jaga biar air tidak masuk ke dalam tenda,”tutur Hafizh. “Waktu di barak Siron Lambaro, sudah enak. Tempatnya lebih bagus dibanding waktu di tenda.”
Wajah polos Hafizh tidak bisa menyembunyikan betapa merananya tinggal di pengungsian. Hidup dengan segala keterbatasan. Namun, anak kedua Muhand Abdullah ini tetap bersyukur karena ia masih bisa melanjutkan sekolah dan tetap berkumpul bersama kedua orangtua dan adiknya. “Tapi,” guratan riang lenyap tiba-tiba. “Kak Feby tidak selamat.”
Feby Putri Handayani, kakak yang sangat disayang Hafizh menjadi salah satu korban amukan gelombang tsunami yang sangat dahsyat itu. “Kak Feby tinggal di Blang Oi bersama nenek. Semua keluarga di sana tidak ada yang selamat.”
Akan tetapi, Hafizh sadar semua itu adalah kehendak Allah dan ia harus menerimanya. Setelah dua tahun lebih tinggal di barak, Hafizh bersama orang tuanya memilih tinggal di Blang Oi, di rumah nenek Hafizh yang tidak berpenghuni lagi. Ia tidak tinggal lagi di Ujung Pancu, tapi sesekali ia tidak lupa untuk sekadar mampir dan mengunjungi rumahnya yang dulu serta bermain bersama teman-temannya.
Sekarang, Hafizh telah duduk di kelas tiga SD Blang Oi. Bencana tsunami memberikan kenangan tersendiri baginya. Perasaan trauma yang dialaminya ketika melihat laut pun hilang seiring berjalannya waktu. Kesedihan karena ditinggal pergi sang best cialis kakak pun memudar hari demi hari. Ia yakin Allah Maha Adil. Dan sekarang Sang Maha Adil itu telah memberikan pengganti kakaknya dengan seorang adik perempuan yang sangat lucu. “Mulina Putri Handayani, namanya,” seru Hafizh sambil tersenyum ceria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar